![]() |
Bisnis Indoensia 17 Juni 2014 Page 2 Oleh M Jamalluddin Ritonga, Dosen Komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta |
Perang opini seputar calon presiden dan wakil presiden belakangan ini makin marak di media massa. Sebagian media memberi porsi lebih banyak kepada pasangan capres-cawapres tertentu.
Keberpihakan itu juga mengemuka
melalui berita utamanya kerap mengangkat pasangan capres-cawapres tertentu
dalam frame positif. Sementara itu, pasangan capres-cawapres lainnya, meskipun
kadang kala dijadikan berita utama, tetapi frame negatif tampak lebih menonjol.
Puja-puji dan caci maki terhadap
pasangan capres-cawapres tertentu seharusnya tidak mengemuka dalam media massa
yang mengklaim independen. Media massa semacam ini pada umumnya menjauhkan diri
dari keberpihakan terhadap salah satu pasangan caprescawapres dengan berpegang
teguh pada kode etik jurnalistik.
Menjaga kredibilitas seharusnya
menjadi komitmen setiap pengelola media massa, khususnya pengelola redaksi.
Sebab, hubungan media dengan khalayak semata berdasarkan ikatan kepercayaan.
Apabila suatu media sudah tidak
dipercaya, khalayak akan meninggalkan media tersebut. Sebaliknya, khalayak akan
tetap loyal terhadap suatu media massa selama yang bersangkutan masih
memercayainya.
Media yang nekat melibatkan diri
mendukung salah satu pasangan capres-cawapres, pada dasarnya sedang ‘berjudi'.
Mereka menggadaikan idealismenya untuk mencapai tujuan jangka pendek dengan
mengorbankan kepercayaan khalayak yang sudah diupayakan dalam jangka waktu
lama.
Media semacam ini tentunya
mengabaikan cita-cita insan pers yang menginginkan terwujudnya profesionalisme
wartawan di era Reformasi. Kenapa?
Pengelola redaksi yang melibatkan
diri berpihak kepada salah satu pasangan capres-cawapres tentu memahami
pentingnya menjaga kepercayaan khalayaknya. Mereka juga mengetahui persis
pentingnya profesionalisme profesi dengan menerapkan kode etik jurnalistik agar
kredibilitas media yang dikelolanya tetap terjaga.
Namun, semua itu tidak dapat
dilaksanakan bila pemilik modal mengintervensi kebijakan redaksional.
Intervensi pemilik dalam pemberitaan terjadi karena mereka juga menjadi
petinggi partai politik.
Para pemilik modal ini mendukung
salah satu pasangan capres-cawapres yang harus dimenangkan pada Pilpres 2014.
Untuk itu, media yang dimilikinya juga dilibatkan guna terwujudnya maksud sang
pemilik modal.
Pelibatan media ini pada umumnya
melalui pemberitaan dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi agar terbentuk
pendapat umum yang menguntungkan bagi pasangan capres-cawapres yang
didukungnya. Hal itu dimungkinkan mengingat salah satu fungsi media massa untuk
menyalurkan pendapat umum.
Media massa seharusnya membuka
akses itu seluas-luasnya, tetapi belakangan ini tampak dibelokkan hanya untuk
kepentingan pemilik modal dengan menyeleksi sumbersumber berita yang sejalan
dengan maksud pemilik modal.
Media massa akan menentukan
apakah suatu isu bermuara menjadi pendapat umum atau tidak. Kalau media massa
menyetop berkembangnya suatu isu, maka isu itu tidak akan pernah menjadi
pendapat umum.
Sebaliknya, bila media massa
meneruskan suatu isu meniadi agenda utamanya, maka peluang terbentuknya pendapat
umum akan terbuka luas.
Terbentuknya pendapat umum yang
mencerminkan pendapat berbagai lapisan masyarakat yang sudah diseleksi dapat menjadi
alat penekan bagi pasangan capres-cawapres kompetitomya.
Hal itu dapat dilihat dalam kasus
ketika Menteri Agama Suryadharma AB menjadi tersangka, yang tentu menerus
dijadikan berita utama. Kasus ini kemudian diperluas dengan mengkaitkan keseriusan
pasangan capres-cawapres yang menjadi kompetitornya dalam pemberantasan
korupsi.
Hal yang sama juga dimunculkan
secara intensif di suatu media massa terkait kasus korupsi pengadaan armada Transjakarta
yang diduga melibatkan salah satu pasangan capres-cawapres.
Bahkan isu-isu negatif yang marak
di media sosial kerap dijadikan berita selama hal itu dapat memberi stigma
buruk terhadap pasangan capres-cawapres yang dijadikan lawan.
EMBARGO BERITA
Tentu raja embargo berita juga
kerap dilakukan. Isu-isu yang tidak menguntungkan pasangan caprescawapres yang
didukung pemilik modal kerap diembargo atau diberitakan seadanya dengan
meminimalkan sisi negatifnya. Dalam konteks ini, media massa yang bersangkutan
tidak menyalurkan pendapat umum, tapi justru menyalurkan pendapat perseorangan
(pemilik modal).
Bahkan media massa tersebut
berupaya memorak-porandakan pendapat umum dengan memilih narasumber yang
sejalan dengan kehendak pemilik modal.
Gejala demikian sungguh nyata
dalam pemberitaan sebagian media massa di Tanah Air. Pemodal sama-sama berupaya
memobilisasi pendapat agar calonnya menjadi presiden. Beberapa media bahkan
tampak melibatkan diri dalam menggalang pendapat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan
di media tertentu pasangan Jokowi-JK digambarkan seharum bunga melati,
sedangkan pasangan Prabowo-Hatta dikesankan seperti bunga beraroma bangkai.
Sebaliknya, di media lainnya pasangan Prabowo-Hatta digambarkan sosok tegas dan
mandhi, sedangkan pasangan Jokowi-JK dilukiskan sebagai boneka Megawati
Soekarnoputri.
Pemberitaan semacam itu boleh
jadi tidak dikehendaki oleh pengeIola redaksi masing-masing media massa. Mereka
terpaksa melakukan itu karena tidak berdaya terhadap pemilih modal.
Namun, apapun penyebabnya, media
massa semacam itu sudah abai terhadap kode etik jurnalistik dan nilai berita,
yang seharusnya menjadi pedoman dalam menentukan kelayakan berita.
Praktik pemberitaan media massa
semaca itu sebetulnya 'sudah mengarah pada perang opini antarmedia. Pengelola
redaksi karena tekanan pemilik modal akhirnya meugabaikan dan mengangkangi
prinsip objektivitas dan keberimbangan.
Sebagian media yang melakukan
perang opini justru mengklaim independen dan taat asas pada prinsip
objektivitas dan seimbang dalam melaporkan pemberitaannya.
Namun, demi kepentingan sempit
dan sesaat, sebagian media massa berubah menjadi penyalur pendapat pemilik
modal dan secara sistematis berupaya untuk memorak-porandakan pendapat umum
yang sesungguhnya.
Perubahan pendapat umum yang
ditolerir adalah aneka pendapat yang disalurkan oleh media massa berdasarkan pada agenda publik. Media massa
tidak boleh memaksakan agendanya, tapi harus menjadikan medianya sebagai saran pertukaran
pendapat yang dilandasi prinsip objektivitas dan berita seimbang.
Hal itu pantas direnungkan oleh
media yang masih terobsesi memobilisasi pendapat perseorangan atau kelompok
tertentu untuk mengejar kepentingan sempit dan sesaat dengan melakukan perang
opini.
Sepatutnya tidak ada lagi media
massa di Indonesia yang memaksakan agendanya hanya untuk kepentingan
memenangkan pasangan capres-cawapres yang diusungnya.
No comments:
Post a Comment