Our Blog

Koran Tempo, "Tenabang Setelah 200 tahun"

Oleh Hussein Abri Yusuf Muda

Keinginan Sven Verbeen Wolthuys menyusuri jejak tempat tinggal leluhurnya di Tanah Abang, Jakarta Pusat, terwujud pada 10 Mei lalu. Laki-laki 47 tahun keturunan Belanda yang tinggal. di Australia itu berkeliling Tanah Abang berkat bantuan Ade Purnama, Ketua Sahabat Museum,yang membuat Plesiran Tanah Abang Tempo Doeloe.

Sven terhubung dengan Ade berkat Scott Merrilees, penulis buku Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital . 1900-1950 yang terbit pada 2012. asal Melbourne. Scott, seorang bankir yang lebih dari 20 tahun tinggal di Jakarta, meminta Sven menghubungi Ade untuk menapaki basil peneletiannya tentang Jakarta. "Riset Sven sangat mendalam tentang Tanah Abang," kata Scott, di sela Plesiran, Ahad lalu.

Sven meneliti Tanah Abang sejak 1990, setahun setelah neneknya, Welly van Barderen, meninggal di Belanda. Sebelum wafat, kata Sven, Welly menceritakan bagaimana ia tinggal di Tanah Abang Heuvel sejak lahir pada 1910 hingga 1948.

Welly juga menunjukkan banyak foto lama kepada Sven. Ada foto ia saat menikah dengan Her Verbeek Wolthuys pada 10 Mei 1927 di Tanah Abang Heuvel Nomor 146. Ia dan suaminya terlihat hendak naik mobil bernomor B4388 yang pintunya dibuka seorang laki-laki Indonesia.

Menurut Welly, leluhur Sven tinggal di Tanah Abang sejak 1863, yaitu nenek buyutnya bernama Caroline de Nijs Bik. Ia datang ke Jakarta ikut suaminya bekerja di perusahaan dagang VOC. Mereka tinggal di Tanah Abang Heuvel atau Bukit Tanah Abang seluas 29 hektare. Krisis ekonomi akibat Perang Dunia II membuat keluarga ini menjual rumahbesar mereka dan kembali ke Belanda. "Leluhur saya bercakap dalam Melayu," kata Sven.

Berbekal cerita dan foto-foto lama itu, Sven menyusuri kisah dan tern- pat tinggal leluhurnya di Indonesia. Ia menyusuri nama-nama bermarga Bik di arsip Lembaga Kerajaan Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi di Universitas Leiden di Belanda dan Jakarta. Dari sana, ia menemukan peta lama Tanah Abang hingga denah rumah leluhurnya yang dibuat secara detail.

Sven mengatakan penelitian yang dilakukannya berdasarkan hobi belaka. Di Australia, ia bekerja sebagai pemandu musik disko dan konsultan manajemen. Ia mengontak Scott Merrilees yang baru meluncurkan buku pada 2012. Scott menyarankannya menemui Ade Purnama.

Sejak 2012 itulah Ade merancang Plesiran Tanah Abang Tempo Dulu. Sahabat Museum pula yang membuat izin berkunjung ke tempat-tempat itu sejak Februari lalu. "Karena tempattempat itu bukan tempat wisata populer," kata Ade.

Sven  sumringah mengikuti tur ini. Ia membawa foto-foto lama yang diperbesar dan memotretnya ulang dalam kondisi sekarang. Tur itu pun mendatangi sembilan tempat berdasarkan riset Sven. Ia antusias menceritakan sejarah Taman Prasasti yang pada abad ke-18 menj adi pemakaman Kebun Djahe. Nisan tiga generasi luluhurnya masih ada di sana. "Setiap ke Jakarta saya selalu mengunjungi nisan ini” katanya.

Rumah nomor 146 itu kini menjadi rumah-rumah toko di antara keriuhan Pasar Tanah Abang di Blok E. Ketika meninggalkan Jakarta, Welly menjual rumahnya seharga 400 gulden. Tak hanya Sven dan Scott yang ikut Plesiran, pesertanya juga datang dari masyarakat umum. "Tahun 1965 saya ke Jakarta dan menginap di losmen Tanah Abang untuk mendaftar di Universitas Baperki," kata Tony Setiabudhi, warga Jakarta berusia 70 tahun asal Surabaya.
--
Tenabang Dulu dan Kini
Komunitas Sahabat Museum membuat Plesiran Tanah Abang Tempo Dulu berdasarkan data yang dikumpulkan Sven Verbeen Wolthuys selama 25 tahun. Leluhur Sven pernah tinggal di Tanah Abang pada 1863-1948. Inilah sembilan tempat yang menjadi tetengger Tenabang selama 200 tahun.
  1. Taman Prasasti. Tempat dikumpulkannya batu nisan dari relokasi pemakaman orang Eropa di Kebun Jahe pada abad ke-18.
  2. Gedung Funch and Rens dan Lever Zeepfabriek. Toko mobil sebelum Perang Dunia II dan toko sabun dengan merek Unilever. Kini, kedua bangunan itu dijadikan restoran dan kantor.
  3. Tanah Abang Heuvel 101. Rumah milik pedagang Tionghoa yang dibangun sejak 1910 dengan ciri dua tower di atap. Kini, rumah itu menjadi kantor Bank Mandiri.
  4. Tanah Abang Heuvel. Bukit Tanah Abang seluas 29 hektare dan hanya ada empat rumah di lahan itu.
  5. Pasar Tanah Abang. Dibuka mulai masa Perusahaan Dagang Hindia Belanda (VOC) pada 1735 oleh seorang arsitek, Justinus Vinck.
  6. Museum Tekstil. Gedung yang berada di Jalan Aipda K.S. Tubun 4 itu dibangun sejak abad ke-19 oleh pengusaha asal Prancis.
  7. Stasiun Tanah Abang. Stasiun kereta ini dibangun pada 1897-1899 dan langsung dioperasikan untuk menghubungkan Batavia ke Serang dan Rangkasbitung di Banten.
  8. Ar-Rohah. Tak ada catatan waktu pembangunan masjid ini. Catatan tertua menyebut masjid ini terbit pada 1859. Nama Ar-Rohah dibuat pada 1959.
  9. Rumah Tawanan Perang. Letaknya di Jalan Tulang Bawan, Tanah Abang II, Cideng, Jakarta Pusat. Ada 10 ribu wanita dan anak-anak Eropa, terutama Belanda, yang ditawan di penjara ini selama pendudukan Jepang 1942-1945.

No comments:

Post a Comment

Darwin Darkwin Designed by Templateism | Copas Tamplate Orang Copyright © 2015

Theme images by richcano. Powered by Blogger.