Our Blog

Ujung Konspirasi

Mengapa muncul dugaan adanya main mata antara Sadat, Golda Meir, dan Kissinger?

Bekas Duta Besar Uni Soviet untuk Mesir Vladimir M Vinogradov memaparkan sebagian dari fakta sejarah yang berbeda soal perjuangan bangsa Suriah melawan tentara Israel dalam perang Yom Kippur 1973.

Analisis rahasia Vinogradov sangat berbeda dengan versi resmi perang yang berlangsung selama 19 hari itu. Tulisan itu ditulis dalam sebuah artikel oleh penulis berdarah Yahudi, Israel Shamir, yang dimuat di situs independen Counterpunch dengan judul “What Really Happened in the Yom Kippur War?”

Menurut tulisan itu, Presiden Mesir Anwar Sadat telah mengkhianati Suriah dalam Perang Yom Kippur 1973 demi memenuhi ambisi pribadinya. Dalam pengkhianatannya terhadap Suriah, Sadat bekerja sama dengan pemimpin Israel Golda Meir serta Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger.

Menurut versi “resmi”, Perang Yom Kippur yang dimulai 6 Oktober 1973 diawali dengan aksi serangan dadakan Mesir dan Suriah secara serempak terhadap Israel. Pasukan Mesir berhasil menerobos Sinai, wilayah Mesir yang diduduki Israel sejak Perang Enam Hari pada 1967.

Pasukan Mesir menerobos sejauh beberapa mil dan pasukan Suriah pun mampu masuk ke Dataran Golan, wilayah Suriah yang direbut Israel tahun 1967. Kedua serangan terpisah tapi terkoordinasi rapi itu mehimbulkan kerugian besar bagi Israel, sekaligus menjadi momen pertama kalinya bangsa Arab berhasil mengalahkan Israel.

Namun kemudian, Israel melakukan serangan balik dan berhasil memukul mundur Suriah dari Golan dan mengancam balik Ibu Kota Damaskus. Disusul kemudian serangan balik Israel atas Mesir yang berhasil menerobos Mesir dan mengepung tentara Mesir. Perang akhirnya berakhir melalui gencatan senjata yang disponsori Amerika dengan posisi tidak ada pihak yang menang maupun kalah.

Menurut Vinograd, aksi serangan Mesir dan Suriah yang menjadi awal peperangan sama sekali bukan aksi dadakan. Aksi tersebut telah diketahui, bahkan dirancang bersama oleh Sadat, Golda Meir. dan Kissinger.

Perencanaan bahkan mencakup penghancuran tentara Suriah dan pengepungan Tentara Ketiga Mesir. Satu tentara terdiri dari beberapa korps, satu korps terdiri dari beberapa divisi, dan satu divisi berkekuatan sekitar 10.000 personel militer. Satu Tentara berkekuatan sekitar 200-300 ribu personel.

Jalannya peperangan juga menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya saja, mengapa tentara Mesir berhenti melakukan serangan setelah menerobos Sinai dan membiarkan Tentara Ketiga terpencil sendirian tanpa penjagaan? Mengapa Mesir membiarkan divisi tank Ariel Sharon menerobos pertahanan Mesir clan mengepung Tentara Ketiga? Mengapa tidak ada pasukan cadangan Mesir di Tepi Barat Terusan Suez yang bisa mencegah pengepungan Tentara Ketiga?

Tentang hal ini, Vinogradov menulis: “Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab selama kita menganggap Sadat sebagai seorang patriot bagi bangsa Mesir. Pertanyaan-pertanyaan itu bare bisa dijawab seluruhnya jika kita mempertimbangkan adanya kolusi antara Sadat dengan pemimpin-pemimpin Israel dan Amerika yang masing-masing dari mereka mencoba meraih tujuan masing-masing.”

“Suatu konspirasi di mana masingmasing pemain tidak mengetahui sepenuhnya tujuan pemain lainnya. Suatu konspirasi di mana masing-masing pemain berusaha meraih basil yang lebih besar dari kesepakatan semula,” kata Vinogradov.

Ketika Jenderal Sadat mulai menduduki jabatannya sebagai Presiden Mesir sepeninggal Jenderal Gamal Abdul Nasser, is menanggung beban moral yang tidak tertanggungkan, yakni sebagai pecundang besar Perang Enam Hari tahun 1967.

Ia adalah komandan pasukan Mesir dalam perang yang memalukan itu. Hanya dalam waktu enam hari Israel bisa mencaplok Gaza dan Sinai dari Mesir, Dataran Golan dari Suriah, dan mengusir Yordania dari al-Quds (Yerussalem).

Bahkan, ketika bangsa Arab belum sempat melakukan serangan balik untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki Israel, mereka sudah menerima tawaran gencatan senjata. Tentu saja hal itu terjadi karena lemahnya kepemimpinan Para pemimpin Arab, atau telah terjadi konspirasi untuk keuntungan Israel.

Sadat tidak saja menanggung malu di hadapan rakyat Mesir, tapi juga di hadapan seluruh bangsa Mesir, mengingat Mesir adalah “pemimpin” di antara bangsa Arab karena kekuatan militer dan jumlah penduduknya. Beban itu bare bisa hilang jika is bisa menunjukkan sebagai pemimpin yang berani dan tangguh dengan menyerang Israel.

Namun, untuk memulai perang, Sadat tidak mendapatkan dukungan Uni Soviet, Sebaliknya, ambisi pribadinya yang besar tercium oleh Henry Kissinger, Menlu Amerika sekaligus seorang Zionis sejati.

Kissinger pun menawarkan solusi: Bersama Israel, Amerika mengizinkan Mesir menyerang Israel dan merebut kembali sebagian Sinai. Namun, pada akhirnya Israel akan memukul balik Mesir ke perbatasan sebelum perang. Terakhir, Amerika akan campur tangan untuk memfasilitasi gencatan senjata.

Di sisi lain, Mesir terikat perjanjian militer dengan Suriah yang mewajibkan setiap perang yang melibatkan Mesir otomatis juga melibatkan Suriah. Suriah dipimpin oleh Haffez al Assad, juga kornandan perang dalam Perang Enam Hari.

Seperti Sadat, is pun memiliki obsesi untuk menyerang Israel dan merebut kembali Dataran Golan milik Suriah. Bedanya dengan Sadat, Haffez benar-benar menjadikan Golan sebagai dendam pribaclinya dengan Israel yang tidak akan ditukarnya dengan apa pun.

Maka, Mesir dan Suriah pun terlibat dalam perencanaan serangan bersama terhadap Israel. Namun, diam-diam Sadat telah membuat kesepakatan dengan Kissinger dan Golda Meir untuk mengorbankan Suriah. Sebenarnya tidak hanya Suriah, tapi juga pasukan penjaga perbatasan Israel sebagaimana juga Tentara Ketiga Mesir.

Selama masa dekolonisasi setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, Amerika kehilangan pengaruhriya di Timur Tengah dengan minyaknya yang melimpah, Terusan Suez yang vital dan menguntungkan, serta penduduknya yang padat sebagai pasar.

Sekutunya, Israel, harus didukung, tapi negara-negara Arab juga semakin kuat. Israel harus dibuat fleksibel dan sikap kerasnya terhadap negara-negara Arab harus diredam. Maka, Israel harus dilindungi sekaligus dihancurkan arogansinya. Hal itu hanya bisa terjadi jika Mesir bisa “memukul keras” Israel untuk kemudian diselamatkan Amerika.

Di sisi lain, Amerika juga membutuhkan bantuan Israel untuk mengukuhkan kedudukannya di Timur Tengah. Sebab, saat itu Amerika hanya mempunyai dua sekutu, yaitu Israel dan Arab Saudi. Jika pengaruh Amerika menguat di Timur Tengah, maka Israel pun ikut “terangkat derajatnya”.

Sedangkan, Sadat kurang menyukai Uni Soviet dan kekuatan-kekuatan progresif di negerinya. Karena itu, Sadat bisa dibujuk untuk bergabung dalam poros Amerika-Israel-Saudi. Sementara Suriah, kekuatan Arab progresif yang masih teguh memusuhi Israel, bisa diatasi secara militer dan dihancurkan.

No comments:

Post a Comment

Darwin Darkwin Designed by Templateism | Copas Tamplate Orang Copyright © 2015

Theme images by richcano. Powered by Blogger.