Media Indonesia 9 Juni 2014 Page 25 Bedah Editorial |
KEKHAWATIRAN akan keterlibatan
anggota TNI dalam politik praktis di pemilihan umum presiden dan wakil
presiden tahun ini ternyata tak mengada-ada. Begitu banyak imbauan dan
peringatan dari beragam kalangan, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
agar TNI-Polri netral, tetapi masih saja ada tentara dan polisi yang
mengabaikannya.
Belum lewat sepekan setelah
Presiden Yudhoyono mengeluarkan instruksi agar TNI dan Polri tidak berpihak
pada capres-cawapres tertentu, di Jakarta Pusat justru terungkap adanya
bintara pembina desa (babinsa) yang mempertontonkan keberpihakan.
Mereka, para babinsa itu, dengan
berpakaian dinas lengkap mendatangi rumah-rumah penduduk untuk menyurvei
pilihan warga. Bahkan, tanpa tedeng aling-aling mereka mendesak warga untuk
menjatuhkan pilihan ke pasangan nomor urut 1, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Tak cuma di Jakarta Pusat, hal
serupa dilaporkan juga terjadi di sejumlah daerah lain. Sekretariat Nasional
Jokowi, misalnya, mendapat laporan bahwa babinsa di Gunungkidul diinstruksikan
untuk mendatangi, mendata, dan mengarahkan warga memilih capres-cawapres
tertentu. Dugaan keberpihakan diduga dilakukan pula oleh anggota Polri.
Negeri ini sudah bulat bersepakat
menempuh jalur demokrasi dalam berbangsa dan bernegara. Di sinilah supremasi
sipil mendapatkan tempat tertinggi dalam kekuasaan, sementara militer kembali
ke peran mulia sebagai alat pertahanan dan Polri sebagai ujung tombak keamanan
negara.
Undang-Undang Nomor 34/2004
tentang TNI pun secara gamblang melarang TNI terlibat dalam gelanggang politik
praktis. Semangat yang sama digariskan melalui Ketetapan MPR No VII/2000 bahwa
TNI wajib bersikap netral dalam kehidupan politik.
Aturan-aturan hukum itu dibuat
bukan untuk pajangan semata. Ia bukan pula untuk dipikirkan, ditafsirkan, atau
diperdebatkan, melainkan untuk dijalankan. Artinya, netralitas TNI dan juga
Polri ialah harga mati, sesuatu yang mutlak dipatuhi. reka Karam memihak satu
golongan, pantang mendukung capres-cawapres mana pun dengan cara apa pun. Bukan
tanpa alasan melarang TNI dan Polri menjadi partisan. Tentara adalah organisasi
yang sah untuk menggunakan senjata. Tentara adalah organisasi, yang memiliki
sumber daya manusia terlatih dengan komando yang tegas. Begitu pula polisi.
Dengan segala kelebihan itulah,
TNIPolri pantang terbelah, terkotak-kotak, lantaran menafikan netralitas dalam
politik praktis. Segala kelebihan TNI dan Polri itu mutlak diabdikan untuk
negara, bukan untuk yang lain.
Rakyat percaya, secara institusi
TNI dan Polri masih netral, masih setia pada jalur reformasi yang mengoreksi
mereka agar back to basic. Kita juga tidak ingin kepercayaan itu terkikis
karena segelintir tentara dan polisi keluar dari jalur yang telah digariskan.
Namun, di sisi lain, kita pun
khawatir, keberpihakan TNI dan Polri berlangsung masif dan sistematis.
Buktinya, keberpihakan politik itu tidak terjadi di satu wilayah dan terjadi
pada TNI sekaligus Polri.
No comments:
Post a Comment