Kompas 6 Juni 2014 | Oleh Frans Sarong
Kota Ende di Flores, Nusa
Tenggara Timur, akhir Mei lalu riuh. Ribuan warga tumpah ke jalan mengikuti
prosesi kebangsaan bermakna ganda. Selain menyongsong Hari Kelahiran Pancasila,
1 Juni, sekaligus menggemakan jejak pengasingan Proklamator Soekarno di Ende,
1934-1938, yang kisahnya sejauh ini terkesan senyap.
Prosesi kebangsaan berwujud
arakan patung Garuda Pancasila merupakan pertama kali sejak Indonesia merdeka
atau ketika Kabupaten Ende dipimpin Bupati Marselinus YW Petu bersama wakilnya,
H Jafar H Achmad. Prosesinya berawal dari Pulau Ende, melibatkan 60 perahu
berpenumpang penuh, dengan waktu pelayaran sekitar dua jam hingga Kota Ende.
Dipimpin H Jafar H Achmad,
prosesi laut Sabtu (31/5), itu melibatkan hampir seribu warga yang menjadi
perwakilan dari 23 kecamatan di Kabupaten Ende. Setiba di Pelabuhan Ende,
rombongan prosesi laut disambut Marselinus Petu didampingi Ketua Yayasan Ende
Flores (YEF) Ignas Kleden bersama jajarannya, Daniel Dhakidae, Thobias Djadji,
Yenny Rewos, dan Djamal Humris. YEF adalah yayasan yang mensponsori pembenahan
Situs Bung Karno di Ende.
Setelah diterima secara adat
dengan dirangkai iringan musik suling serta lantunan lagu etnis setempat,
"Ende Deku Du Dengu", rombongan prosesi Taut bersama ribuan warga
lain yang baru bergabung, melanjutkan prosesi darat. Mereka hampir semuanya
berpakain adat, termasuk tim YEF. Setelah titik pelabuhan, prosesi menyinggahi
11 titik lain yang menjadi tempat bersejarah. jejak pengasingan Bung Karno di
Ende. Sejumlah titik dimaksud di antaranya, bekas pesanggrahan Belanda yang
kini menjadi kantor Polisi Militer. Bung Karno bersama keluarga pernah tinggal
di pesanggrahan itu sebelum dipindahkan ke rumah penduduk yang kini menjadi
Situs Bung Karno di Jalan Perwira, Ende.
Prosesi selanjutnya antara lain
menyinggahi bekas rumah kediaman Bung Karno tersebut, kuburan Ibu Amsi (mertua
Bung Karno) dan Gedung Imaculata (milik gereja Katolik, yang pernah menjadi
tempat pementasan tonil karya Bung Karno). Prosesi berakhir larut malam yang
ditandai doa renungan di sekitar pohon sukun di Taman Rendo.
Ketika menjalani masa
pembuangannya selama empat tahun di Ende, Bung Karno sering melakukan
permenungan hingga berhasil menggali dan merumuskan butir-butir Pancasila yang
kini menjadi dasar negara Indonesia Permenungan itu biasa ia lakukan pada Jumat
larut ma-lam di bawah naungan sukun (kini duplikat) menghadap Pelabuhan Ende.
Seiring deklarasi khusus oleh Bupati Marselinus Petu, pelabuhan itu sejak akhir
Mei lalu resmi berganti nama menjadi Pelabuhan Bung Karno.
Dua tokoh Ende, Donatus Randa Ma
(58) dan Man Aroeboesman (53), secara terpisah menyatakan bangga atas terobosan
prosesi kebangsaan dalam rangkaian Hari Kelahiran Pancasila di Ende tahun ini.
"Prosesi ini terasa menyentuh kebanggaan warga Kabupaten Ende karena
daerahnya pernah menjadi pembuangan Bung Karno," tutur Donatus di antara
ribuan masa prosesi.
"Kami mengharapkan prosesi
ini menjadi kegiatan tahunan mengenang kisah pengasingan Bung Karno di Ende. Harus
ditunjukkan kalau dari Ende pernah menyala api perjuangan nasional," kata
Man Aroeboesman.
Bupati Marselinus Petu
menegaskan, masyarakat Ende pantas bersyukur dan berbangga karena daerah ini
khususnya, Kota Ende, berperan penting sebagai rahim yang melahirkan Pancasila.
"Kami dari Ende mendorong seluruh masyarakat bangsa agar terus menjaga
keluhuran nilai-nilai Pancasila," tuturnya.
Ia pun memastikan prosesi
kebangsaan yang telah dimulai menjadi agenda tahunan Pemerintah Kabupaten Ende.
"Prosesi kebangsaan ke depannya diharapkan menjadi peristiwa wisata yang
akan menarik pelancong berkunjung ke Ende," kata Marselinus.
Ignas Kleden melukiskan rangkaian
prosesi kebangsaan di Ende itu adalah implementasi sebuah gagasan yang sangat
kreatif dari Pemerintah Kabupaten Ende. Dengan demikian, kisah pembuangan Bung
Karno di Ende tahun 1930-an menjadi lebih hidup dan lebih menjiwai.
"Kedepannya kalau mau merayakan kelahiran Pancasila secara nasional,
selayaknya dirayakan di Ende," kata Ignas Kleden.
Ia bahkan mengharapkan keberadaan
Situs Bung Karno yang sudah 'dibenahi sebagiannya tidal( hanya sekadar bangunan
menyimpan berbagai peninggalan bersejarah mengenang jejak pembuangan Bung Karno
di Ende. Situs itu diharapkan sekaligus menjadi pusat mengekspresikan berbagai
kreasi seni dan budaya etnis Ende Lio di Ende atau dari daerah Iainnya.
Elang mistis
Sejak setahun lalu, di sekitar
Pohon Pancasila ditakhtakan patung Bung Karno dalam posisi sedang bermenung,
mengenang upaya Sang Proklamator menggali dan merumuskan butir-butir Pancasila,
kini. Ada kisah beraroma mistis di balik patung perunggu seberat 800 kilogram
karya Hanafi itu.
Peti kemas pembungkus patung
dibuka di Ende, 12 Mei 2013. Saat itu konon dua jenis burung: elang dan pergam,
tiba-tiba me luncur dari arah Tana Jea, kawasan hutan sebelah utara Kota Ende.
Kawasan hutan yang merupakan habitat elang, pergam, dan sejumlah jenis burung
endemik lainnya, sebagiannya merupakan wilayah Kabupaten En-de dan sebagian
lainnya wilayah Wokoseko, Kabupaten Nagekeo. Seperti diakui Daniel Dhakidae,
kedua jenis burung yang diketahui sudah sangat langka di Flores, terbangnya
terus menurun hingga mendekat di atas kawasan Taman Rendo, seakan menyambut
patung Bung Karno.
Pergam bagi masyarakat Flores
atau daerah lain umumnya adalah simbol perdamain dan pemersatu. Sementara elang
selain dikenal sebagai predator ulung, juga menyimbolkan keperkasaan.
"Bisa Baja diinterpretasikan kalau kunjungan kedua jenis burung itu adalah
roh Bung Karno sekaligus menyimbolkan kepribadian atau kepemimpinan Sang Proklamator,"
kata Daniel.
Memang sulit dibuktikan kebenarannya.
Namun sejumlah kisah tercecer dari Ende menyebutkan Bung Karno memang
"bersahabat" dengan elang dan juga pergam. Sebagai misal ketika Sang
Proklamator mandi di Sungai Wolowona, bagian hulu Kota Ende, kedua jenis burung
itu konon suka mendekat. Mistis memang!
No comments:
Post a Comment